Masyarakat Peduli Energi dan Lingkungan

Tuesday, February 14, 2006

Evaluasi Tahun 2005 dan Rencana Kenaikan TDL

Reshuffle yang diadakan oleh SBY, dan juga prestasi Kabinet selama tahun pertama, banyak diberi komentar oleh para analis dalam berbagai media. Namun menurut pendapat kami, kesimpulan yang diambil cenderung kurang mengena atau kurang tepat. Hemat kami, SBY mengambil tindakan reshuffle berdasarkan evaluasi beliau terhadap kinerja Kabinet di bidang pengelolaan pasokan BBM selama tahun 2005. Ceriteranya lebih kurang begini.

Sejak awal tahun 2004 harga minyak internasional meningkat terus. Sayang, Pemerintahan Megawati menghentikan kenaikan secara bertahap harga energi, yang telah dijalankannya sejak pertengahan 2001. Karena masih baru, Pemerintahan SBY agak lambat menaikkan harga energi – keburu terpukul tsunami. Sewaktu menetapkan kenaikan harga BBM 1 Maret 2005 sebesar hampir 30 persen, ternyata harga minyak internasional malah meningkat lagi. Akibatnya, Pertamina tidak punya cukup uang untuk mengimpor BBM yang cukup (disebabkan, selain harga minyak naik, asumsi harga minyak dalam APBN yang terlalu rendah dan sistem pembiayaan baru yang diterapkan di kalangan instansi Pemerintah belum operasional), dan hal ini berdampak pada terpuruknya nilai mata-uang rupiah (yang malah membuat Pertamina semakin kewalahan). Rupiah kian terperosok ketika harga minyak dunia melambung ke atas $ 55/bbl. Datang bulan Agustus: ketika harga minyak mencapai $70/bbl, maka semakin komplitlah kerepotan Pemerintah-DPR-Pertamina dalam mengelola pasokan BBM.

Belum lagi disinggung ketidakserasian harga antar berbagai jenis energi seperti minyak tanah, LPG, dan listrik; demikian pula berbagai harga satu jenis energi/gas/BBM untuk golongan konsumen yang berlainan. Pertamina, PGN, PLN, PT Taba, masing-masing punya alasan sendiri-sendiri mengapa harganya harus sekian. Mengapa kepentingan perusahaan harus diutamakan ? Padahal Mahkamah Konstitusi sudah jelas menyatakan sejak akhir tahun 2004 bahwa harga energi ditetapkan oleh Pemerintah. DESDM punya segudang pakar, tentunya bisa disusun strategi penetapan harga energi yang serasi antara berbagai macam itu, dan tentunya bisa dibuat rencana penghapusan subsidi secara berangsur.

Kemudian, diambil langkah drastis penghapusan subsidi per Oktober 2005. Memang benar insentif untuk penyelundupan dan pengoplosan jauh berkurang, tetapi rupanya terlupakan: at what cost ? Inflasi tinggi, dan masyarakat konsumen berpendapatan tetap menjadi korban. Jadi, ada kekurangan dalam good governance.

Demikianlah perkiraan kami mengenai hasil evaluasi SBY.

Mudah-mudahan hal seperti di atas tidak terulang lagi dengan penyesuaian TDL yang tidak pada tempatnya atau belum saatnya. Masalahnya memang pelik. Atau barangkali gampang-gampang susah ?

Jumlah pelanggan PLN sekitar 30 juta, tetapi sebagian terbesar, lebih dari 90 persen, adalah konsumen rumah-tangga golongan tarif R1. (Ma’af kami mereka-reka angkanya, karena tidak memiliki laporan statistik PLN terakhir; tetapi ordenya kira-kira betul – rekan dari PLN harap koreksi.) Jadi golongan tarif inilah yang mestinya naik !? Tetapi harus ada nyali dan dukungan politik yang kuat, karena harga BBM baru 4 bulan lalu dinaikkan.

Agar kelihatan tetap “adil”, bisa saja dinaikkan semua golongan tarif sebanyak Rp. 50/kWh. Ini saja akan menambah pendapatan PLN sekitar Rp. 5 trilyun. Tetapi sebaiknya tunggu sedikitnya 3 bulan lagi.

Alternatif lain adalah harga minyak solar untuk PLN diturunkan sebanyak Rp. 1000/liter – ini saja bisa menghemat belanja PLN hampir Rp. 10 trilyun setahun – dan Pertamina belum terlalu merugi, bukan ? Lagipula sekarang setelah kenaikan harga BBM Oktober 2005, Pertamina tidak lagi kekurangan uang (seperti pada tahun lalu) untuk mengimpor BBM

Yang agak mengherankan, masih banyak analis dan anggota badan legislatif yang menuntut agar PLN bekerja lebih efisien lagi. Selama 30 tahun sektor energi Indonesia sengaja dibuat tidak efisien (tetapi dinikmati oleh rakyat Indonesia): (1) penetapan harga minyak solar dan minyak tanah jauh di bawah biaya produksi, sehingga konsumsi tumbuh 10 persen setahun, (2) program listrik masuk desa yang dimulai tahun 1976 dan berhasil memperbanyak pelanggan rumah-tangga PLN dari 12 persen penduduk pada tahun 1982 menjadi hampir 50 persen pada tahun 1997 (bertambah lebih dari 20 juta pelanggan) sebagian besar dipasok dengan listrik dari pembangkit mesin diesel yang memakai minyak solar yang disubsidi. Selain itu, kebijakan penetapan harga yang sama untuk seluruh wilayah tanah-air berarti bahwa Pertamina dan PLN secara internal memberikan cross-subsidy dari operasi di Jawa ke operasi di luar Jawa. (Sebenarnya sekarang tarif listrik beberapa kabupaten sudah lain, dan HET minyak tanah tergantung pada penetapan Pemda masing-masing.).

Dengan demikian, peningkatan efisiensi PLN adalah mau tidak mau merupakan suatu program jangka panjang.

Jadi, sebaiknya dituruti saja protes kalangan industri atas rencana kenaikan TDL. Bukankah di mana-mana tarif rumah-tangga lebih tinggi ketimbang tarif industri ?