Perlu Strategi dan Cara Baru Sosialisasi PLTN
Sebagaimana diketahui Pemerintah telah berketetapan untuk membangun PLTN sebagai salah satu altermatif untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik dalam jangka panjang, khususnya di dalam sistem listrik Jawa-Madura-Bali yang sudah ter-interkoneksi. Hal ini tercermin di dalam beberapa dokumen yang telah terbit. Pertama adalah "Kebijakan Energi Nasional" yang dikeluarkan oleh Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral pada tahun 2004. Kemudian dokumen Badan Koordinasi Energi Nasional atau BAKOREN berjudul "Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025" yang terbit pada tahun 2005. Selanjutnya adalah Peraturan Presiden No. 5 tahun 2006 tentang Kebijaksanaan Energi Nasional 2005-2025 yang ditanda-tangani oleh Presiden R.I. pada tanggal 26 Januari 2006.
Bahwasanya "rencana" tersebut bukan saja suatu gagasan yang dicetuskan oleh Pemerintah yang bertindak bertepuk sebelah tangan, terbukti dengan adanya produk undang-undang yang diterbitkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, juga dalam tahun 2007 ini, yaitu Undang-undang No. 17 tahun 2007 tentang Perencanaan Jangka Panjang Pembangunan Nasional. Di situ dengan jelas tercantum adanya niat dari bangsa Indonesia untuk memanfaatkan energi nuklir sebagai alternatif untuk pembangkitan listrik, khususnya beroperasinya PLTN pertama antara tahun 2015 dan 2020.
Semua dokumen itu tentunya diterbitkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang telah dibahas secara tuntas di tingkat Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, dalam hal ini Komisi VIII dalam DPR terdahulu dan Komisi VII DPR yang sekarang. Bahkan beberapa tokoh DPR dari Komisi VII sudah cukup sering diberitakan membuat pernyataan mendukung pembangunan PLTN, bahkan juga dikemukakan bahwa kita sudah tertinggal di bidang ini. Misalnya Ketua Komisi VII Bp. Ir. Agusman Effendi dan Wakil Ketuanya Bp. Nadjib. (Tetapi ada pula anggota Komisi VII yang tampaknya menentang gagasan ini, seperti Bp. Ir. Alvin Lie dan mantan Menteri Lingkungan Hidup Bp. Sony Keraf.)
Hakekatnya, pembenaran pemanfaatan energi nuklir sebagai salah satu alternatif adalah berdasarkan kenyataan bahwa: (1) Permintaan akan tenaga listrik masih tetap tumbuh dengan pesat dan kita dapat mempersulit diri sendiri apabila tidak memakai jenis energi ini; (2) Alternatif yang lain tidak akan mencukupi pada saat diperlukan, seperti misalnya panasbumi yang potensinya di pulau Jawa diperkirakan masih ada 8000 MW, atau terlalu mahal seperti gasbumi yang harganya meningkat terus seiring dengan perkembangan harga minyak internasional (dan gas sebenarnya dapat dimanfaatkan dalam sektor lain seperti industri dan rumah-tangga dengan nilai tambah yang lebih besar), atau energi batubara yang dalam jangka panjang dapat menimbulkan masalah-masalah lain seperti pencemaran, logistik (kapal dan pelabuhan) serta lokasi (di Jawa kian terbatas); (3) Memanfaatkan energi nuklir akan berarti suatu upaya untuk menekan biaya pembangkitan listrik, serta tidak kalah pentingnya adalah membuat pemanfaatan sumberdaya alam kita secara lebih optimal; (4) Sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali pun akan menjadi lebih tangguh dan handal, karena tidak akan tergantung pada hanya batubara dan gasbumi saja; (5) Kita pun akan meraih keuntungan karena berpeluang untuk meningkatkan kemampuan kita di bidang teknologi, khususnya konstruksi dan manufaktur. Keuntungan lain adalah PLTN tidak mengeluarkan emisi zat arang.
Timbulnya oposisi terhadap pembangunan PLTN tampaknya disebabkan sindrom NIMBY, atau Not In My Back Yard, atau "jangan di pekarangan saya". Ini adalah pandangan yang normal yang dapat timbul di kalangan masyarakat. Di negara industri pun ada pandangan seperti itu. Tetapi kini sudah berubah: justru di kalangan yang ketempatan PLTN lebih menyukai dibangun PLTN baru ketimbang jenis energi lain yang dapat menimbulkan polusi udara.
Berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, maka kiranya perlu disusun suatu strategi baru dalam "sosialisasi" PLTN. Mungkin sasaran sosialisasi janganlah mahasiswa, kaum cerdik pandai dan tokoh-tokoh masyarakat saja, melainkan perlu diperluas kepada masyarakat awam dan siswa-siswa SMP dan SMU. Ini mungkin akan lebih sulit, karena konsep-konsep yang harus dijabarkan bukanlah konsep yang mudah. Juga akan memakan biaya yang lebih besar, karena sasaran jauh lebih banyak. Akan tetapi perlu dan harus dimulai dari saat sekarang. Kalau tidak kita akan jauh tertinggal lagi dibandingkan negara lain, termasuk negara-negara tetangga kita.