Masyarakat Peduli Energi dan Lingkungan

Thursday, February 23, 2006

Seminar Sehari Ekonomi dan Teknologi PLTN

Seminar diselenggarakan pada tanggal 7 Februari 2006 oleh Forum Peduli Energi dan Lingkungan (FPEL) dengan sponsor utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan dengan dukungan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) serta sponsor lainnya: Badan Pengawas Tenaga Nuklir, PT PJB (Surabaya) dan PT BATAN Teknologi, bertempat di Hotel JW Marriott Jakarta Selatan. Jumlah peserta sekitar 100 orang.

Seminar dibuka oleh Ibu Emy Perdanahari, Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan, yang membacakan pengarahan Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi (DirJen LPE). Dalam pengarahannya DirJen LPE antara lain menyatakan bahwa baik pertumbuhan konsumsi energi primer maupun pertumbuhan konsumsi listrik di Indonesia dalam dekade terakhir ini sangat tinggi. Mengingat keterbatasan sumberdaya energi yang kini semakin dirasakan, maka sudah saatnya Indonesia mempertimbangkan opsi energi nuklir.

Pembicara pertama pada Sesi Pagi adalah Eden Napitupulu, Ketua Tim Energi Primer/Terminal LNG PLN, yang menyampaikan hasil suatu studi kasus mengenai pengembangan sistem listrik Jawa-Madura-Bali (Jamali). Berdasarkan asumsi-asumsi yang diambil, ditemukan bahwa pengembangan yang paling optimal untuk sistem Jamali adalah pengembangan pembangkit berdasarkan bahan bakar batubara, tanpa peranserta nuklir. Karena pengembangan tersebut menghasilkan peran batubara sebanyak 88 persen pada tahun 2025, maka dibuat skenario lain di mana satuan PLTN sebesar 1000 MW dimasukkan ke dalam sistem Jamali mulai tahun 2014 dan untuk setiap tahun selanjutnya. Ternyata ditemukan bahwa solusi yang sub-optimal ini hanya berselisih sebesar 0,3 persen dari solusi optimal tanpa nuklir. Dinyatakan bahwa selisih 0,3 persen ini jauh lebih kecil ketimbang tingkat kepercayaan yang dapat diberikan pada asumsi-asumsi yang digunakan. Dikatakan pula, tidak masuk akal bilamana hanya satu atau dua PLTN yang dibangun: harus satu seri agar dapat menikmati penurunan biaya modal dari pengalaman. Karena solusi sub-optimal dengan PLTN tersebut dapat mengurangkan peran batubara hingga 70 persen pada tahun 2025 serta mengingat aspek logistik dan tingkat pencemaran udara dari dominasi batubara, maka peranserta PLTN sebagai pemikul beban dasar dalam sistem jaringan Jamali ‘sangat relevant untuk diinvestigasi lebih lanjut’.

Pembicara kedua adalah Marius Condu, seorang tenaga ahli dari Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), yang memaparkan perkembangan energi nuklir masa kini (pada Desember 2005 443 PLTN beroperasi dengan kapasitas 370 GW dan berpangsa 16 persen dari seluruh listrik dunia) dan prospek peran energi nuklir di masa depan di dunia serta hal ihwal ekonomi pembangkitan PLTN. Proyeksi rendah IAEA mengenai perkembangan PLTN dunia memperlihatkan peningkatan terus hingga tahun 2020 dan tidak lagi menurun hingga tahun 2030 (melebihi 400 GW). Proyeksi tinggi mencapai 600 GW pada tahun 2030. Mengenai ekonomi PLTN, yang disajikan adalah hasil studi NEA/IEA (Nuclear Energy Agency/International Energy Agency berkedudukan di Paris). Hal yang menarik adalah perkembangan biaya rerata tahunan pembangkitan listrik nuklir dari 103 PLTN di Amerika Serikat dari tahun 1981 hingga tahun 2004: mulai dari 2,54 sen/kWh (menurut nilai dollar AS tahun 2004) pada tahun 1981, secara berangsur meningkat menjadi 3,63 sen/kWh pada tahun 1987, untuk selanjutnya menurun terus hingga 1,68 sen/kWh pada tahun 2004.

Pembicara pertama pada Sesi Siang adalah Hudi Hastowo, seorang insinyur reaktor dari BATAN yang kini menjabat Sekretaris Menteri Negara Riset dan Teknologi. Dipaparkannya perkembangan teknologi reaktor untuk berbagai jenis/tipe reaktor yang saat ini termasuk jenis terbukti (proven): reaktor air berat, reaktor air tekanan tinggi, reaktor air didih. Demikian pula diuraikan gambaran perkembangan mutakhir jenis-jenis tersebut yang memadukan penurunan biaya konstruksi disertai peningkatan segi keselamatan/keamanannya dan pula berbagai jenis reaktor yang masih dalam taraf pengembangan yang selain ditujukan untuk mendesain reaktor yang lebih aman lagi serta tahan proliferasi, diharapkan juga meningkatkan pemanfaatan sumberdaya uranium dan torium.

Sebagai pembicara kedua telah tampil kembali Marius Condu, yang kali ini membahas masalah keselamatan/keamanan pada PLTN, terutama dari segi pandang IAEA sebagai penganjur standard keselamatan/keamanan tinggi di dunia yang telah menerbitkan banyak buku standard. Selain itu telah dikemukakan pula hal-hal mengenai insiden Three Mile Island-2 dan kecelakaan Chernobyl-4, khususnya mengenai kekurang-pahaman masyarakat awam tentang kejadian dan dampak yang sebenarnya. Sayang pada sore hari jumlah peserta telah jauh menyusut ketimbang sesi sebelumnya.

Kepala BATAN memberikan pencerahan mengenai telah diterimanya Indonesia di kalangan internasional sebagai layak memiliki PLTN tanpa kecurigaan karena sepenuhnya mematuhi dan mendukung NPT.

Tuesday, February 14, 2006

Evaluasi Tahun 2005 dan Rencana Kenaikan TDL

Reshuffle yang diadakan oleh SBY, dan juga prestasi Kabinet selama tahun pertama, banyak diberi komentar oleh para analis dalam berbagai media. Namun menurut pendapat kami, kesimpulan yang diambil cenderung kurang mengena atau kurang tepat. Hemat kami, SBY mengambil tindakan reshuffle berdasarkan evaluasi beliau terhadap kinerja Kabinet di bidang pengelolaan pasokan BBM selama tahun 2005. Ceriteranya lebih kurang begini.

Sejak awal tahun 2004 harga minyak internasional meningkat terus. Sayang, Pemerintahan Megawati menghentikan kenaikan secara bertahap harga energi, yang telah dijalankannya sejak pertengahan 2001. Karena masih baru, Pemerintahan SBY agak lambat menaikkan harga energi – keburu terpukul tsunami. Sewaktu menetapkan kenaikan harga BBM 1 Maret 2005 sebesar hampir 30 persen, ternyata harga minyak internasional malah meningkat lagi. Akibatnya, Pertamina tidak punya cukup uang untuk mengimpor BBM yang cukup (disebabkan, selain harga minyak naik, asumsi harga minyak dalam APBN yang terlalu rendah dan sistem pembiayaan baru yang diterapkan di kalangan instansi Pemerintah belum operasional), dan hal ini berdampak pada terpuruknya nilai mata-uang rupiah (yang malah membuat Pertamina semakin kewalahan). Rupiah kian terperosok ketika harga minyak dunia melambung ke atas $ 55/bbl. Datang bulan Agustus: ketika harga minyak mencapai $70/bbl, maka semakin komplitlah kerepotan Pemerintah-DPR-Pertamina dalam mengelola pasokan BBM.

Belum lagi disinggung ketidakserasian harga antar berbagai jenis energi seperti minyak tanah, LPG, dan listrik; demikian pula berbagai harga satu jenis energi/gas/BBM untuk golongan konsumen yang berlainan. Pertamina, PGN, PLN, PT Taba, masing-masing punya alasan sendiri-sendiri mengapa harganya harus sekian. Mengapa kepentingan perusahaan harus diutamakan ? Padahal Mahkamah Konstitusi sudah jelas menyatakan sejak akhir tahun 2004 bahwa harga energi ditetapkan oleh Pemerintah. DESDM punya segudang pakar, tentunya bisa disusun strategi penetapan harga energi yang serasi antara berbagai macam itu, dan tentunya bisa dibuat rencana penghapusan subsidi secara berangsur.

Kemudian, diambil langkah drastis penghapusan subsidi per Oktober 2005. Memang benar insentif untuk penyelundupan dan pengoplosan jauh berkurang, tetapi rupanya terlupakan: at what cost ? Inflasi tinggi, dan masyarakat konsumen berpendapatan tetap menjadi korban. Jadi, ada kekurangan dalam good governance.

Demikianlah perkiraan kami mengenai hasil evaluasi SBY.

Mudah-mudahan hal seperti di atas tidak terulang lagi dengan penyesuaian TDL yang tidak pada tempatnya atau belum saatnya. Masalahnya memang pelik. Atau barangkali gampang-gampang susah ?

Jumlah pelanggan PLN sekitar 30 juta, tetapi sebagian terbesar, lebih dari 90 persen, adalah konsumen rumah-tangga golongan tarif R1. (Ma’af kami mereka-reka angkanya, karena tidak memiliki laporan statistik PLN terakhir; tetapi ordenya kira-kira betul – rekan dari PLN harap koreksi.) Jadi golongan tarif inilah yang mestinya naik !? Tetapi harus ada nyali dan dukungan politik yang kuat, karena harga BBM baru 4 bulan lalu dinaikkan.

Agar kelihatan tetap “adil”, bisa saja dinaikkan semua golongan tarif sebanyak Rp. 50/kWh. Ini saja akan menambah pendapatan PLN sekitar Rp. 5 trilyun. Tetapi sebaiknya tunggu sedikitnya 3 bulan lagi.

Alternatif lain adalah harga minyak solar untuk PLN diturunkan sebanyak Rp. 1000/liter – ini saja bisa menghemat belanja PLN hampir Rp. 10 trilyun setahun – dan Pertamina belum terlalu merugi, bukan ? Lagipula sekarang setelah kenaikan harga BBM Oktober 2005, Pertamina tidak lagi kekurangan uang (seperti pada tahun lalu) untuk mengimpor BBM

Yang agak mengherankan, masih banyak analis dan anggota badan legislatif yang menuntut agar PLN bekerja lebih efisien lagi. Selama 30 tahun sektor energi Indonesia sengaja dibuat tidak efisien (tetapi dinikmati oleh rakyat Indonesia): (1) penetapan harga minyak solar dan minyak tanah jauh di bawah biaya produksi, sehingga konsumsi tumbuh 10 persen setahun, (2) program listrik masuk desa yang dimulai tahun 1976 dan berhasil memperbanyak pelanggan rumah-tangga PLN dari 12 persen penduduk pada tahun 1982 menjadi hampir 50 persen pada tahun 1997 (bertambah lebih dari 20 juta pelanggan) sebagian besar dipasok dengan listrik dari pembangkit mesin diesel yang memakai minyak solar yang disubsidi. Selain itu, kebijakan penetapan harga yang sama untuk seluruh wilayah tanah-air berarti bahwa Pertamina dan PLN secara internal memberikan cross-subsidy dari operasi di Jawa ke operasi di luar Jawa. (Sebenarnya sekarang tarif listrik beberapa kabupaten sudah lain, dan HET minyak tanah tergantung pada penetapan Pemda masing-masing.).

Dengan demikian, peningkatan efisiensi PLN adalah mau tidak mau merupakan suatu program jangka panjang.

Jadi, sebaiknya dituruti saja protes kalangan industri atas rencana kenaikan TDL. Bukankah di mana-mana tarif rumah-tangga lebih tinggi ketimbang tarif industri ?